Selasa, 22 Mei 2012

Karma Uang


"When Reagan was president we had Johnny Chash. Bob Hope and Steve Jobs. In Obama’s America no Chash, no Hope and no Jobs."

Humor ini padat sekali. Ia merangkum sekaligus tiga isu aktual: kemurungan ekonomi Amerika, kritik untuk pemerintahan Obama dan kenangan atas kepergian Steve Jobs. Pada saat yang sama, bursa saham Wall Street sedang diguncang demo yang skalanya makin meluas. Tuduhannya serius: bursa saham itu dianggap biang kerok kerapuhan ekonomi Amerika.

Wall Street memang telah menjadi berhala bagi ekonomi dunia. Sekuel film Wall Street 2, makin menegaskan paradoks itu: judulnya indah: Money Never Sleeps, dengan bintang yang masih sama Michael Douglas. Di dalam judul yang indah itulah terletak paradoks Wall Street diam-diam. Karena sesungguhnya, tidak pernah ada berhala yang indah.


Berhala itu dipuja hanya pada awalnya, tetapi akhirnya harus hancur kemudian. Oleh apa? Oleh pengetahuan. Jadi berhala hanya dipuja di masa gelap dan di era yang penuh kesalahapahaman. Tetapi mana mungkin modernitas semaju Amerika rela dianggap gelap dan salah paham? Tentu tidak. Ilmu pengetahuan mereka, di satu sisi adalah soal yang cemerlang dan terang benderang. Tetapi untuk beberapa sudut tertentu yang terang itu menyisakan gelap di sebagian. Itulah kenapa disebut paradoks. Dan sumber paradoks itu ternyata sesuatu yang sederhana, sesuatu yang sangat tidak mereka duga, yakni soal yang sangat kuno dan mendasar: karma uang.

Uang itu memiliki perintah yang jelas, sebagai alat pembayaran. Bukan alat perdagangan. Tetapi ketika uang mengalami pergesaran sebagai pihak yang diperdagangkan, itulah awal sebuah pergeseran mandat dimulai. Dan Wall Street telah menggeser mandat itu menjadi terlalu jauh. Akibatnya, wajah pasar sama sekali berubah. Ia tidak lagi menjadi pusat kemungkinan yang kaya ragam, yang melibatkan banyak sekali kepentingan tetapi telah menjadi sekadar perpindahan angka-angka. Pasar modern hanyalah sederetan fakta digital yang berpindah dari komputer-komputer dalam skala detik. Jadi pergerakan uang itu sejatinya tidak ada, yang ada hanyalah simulasi pergerakan ekonomi. Tetapi ekonominya sendiri tidak benar-benar nyata bergerak. Dan yang akhirnya paling nyata ialah: peran bursa saham sendiri yang akhirnya juga berubah dari lembaga perdagangan, lalu menjadi ajang perjudian. Lalu apa jadinya ketika pasar sudah berubah menjadi arena judi?

Menjadi mudah membayangkan sekarang kenapa ketika Wall Street guncang, Indonesia nyaris tidak terkena imbasnya. Karena di negeri ini, mungkin justru karena ketertinggalannya, masih menggunakan uang benar-benar sebagai alat bayar. Aneka bank besar saja masih tidak cukup, tetapi juga masih butuh BPR, bank titil, bank tongol, bank plecit, koperasi, kredit candak kulak dan semacamnya. Peredaran uang mereka riil sekali dan berputar untuk sektor yang benar-benar riil. Mereka membeli barang, mereka bukan membeli angka dan data-data. Dan itu menghidupkan mata rantai hidup. Bahkan koruptor pun tidak lagi berani menyuap dengan transfers, tatpi chash! Artinya, uang masih dijaga fungsinya sebagai benar-benar alat pembayaran, bukan pihak yang diperjual belikan.

Setiap kita punya mandat, setiap profesi dan jabatan punya mandat, jika ia diingkari, ia akan berujung bahaya di kelak kemudian hari.

* Prie GS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar