"When Reagan was president we
had Johnny Chash. Bob Hope and Steve Jobs. In Obama’s America no Chash, no Hope
and no Jobs."
Humor ini padat sekali. Ia merangkum
sekaligus tiga isu aktual: kemurungan ekonomi Amerika, kritik untuk
pemerintahan Obama dan kenangan atas kepergian Steve Jobs. Pada saat yang sama,
bursa saham Wall Street sedang diguncang demo yang skalanya makin meluas.
Tuduhannya serius: bursa saham itu dianggap biang kerok kerapuhan ekonomi
Amerika.
Wall Street memang telah menjadi
berhala bagi ekonomi dunia. Sekuel film Wall Street 2, makin menegaskan
paradoks itu: judulnya indah: Money Never Sleeps, dengan bintang yang masih
sama Michael Douglas. Di dalam judul yang indah itulah terletak paradoks Wall
Street diam-diam. Karena sesungguhnya, tidak pernah ada berhala yang indah.
Berhala itu dipuja hanya pada
awalnya, tetapi akhirnya harus hancur kemudian. Oleh apa? Oleh pengetahuan.
Jadi berhala hanya dipuja di masa gelap dan di era yang penuh kesalahapahaman.
Tetapi mana mungkin modernitas semaju Amerika rela dianggap gelap dan salah
paham? Tentu tidak. Ilmu pengetahuan mereka, di satu sisi adalah soal yang
cemerlang dan terang benderang. Tetapi untuk beberapa sudut tertentu yang
terang itu menyisakan gelap di sebagian. Itulah kenapa disebut paradoks. Dan
sumber paradoks itu ternyata sesuatu yang sederhana, sesuatu yang sangat tidak
mereka duga, yakni soal yang sangat kuno dan mendasar: karma uang.
Uang itu memiliki perintah yang
jelas, sebagai alat pembayaran. Bukan alat perdagangan. Tetapi ketika uang
mengalami pergesaran sebagai pihak yang diperdagangkan, itulah awal sebuah
pergeseran mandat dimulai. Dan Wall Street telah menggeser mandat itu menjadi
terlalu jauh. Akibatnya, wajah pasar sama sekali berubah. Ia tidak lagi menjadi
pusat kemungkinan yang kaya ragam, yang melibatkan banyak sekali kepentingan
tetapi telah menjadi sekadar perpindahan angka-angka. Pasar modern hanyalah
sederetan fakta digital yang berpindah dari komputer-komputer dalam skala
detik. Jadi pergerakan uang itu sejatinya tidak ada, yang ada hanyalah simulasi
pergerakan ekonomi. Tetapi ekonominya sendiri tidak benar-benar nyata bergerak.
Dan yang akhirnya paling nyata ialah: peran bursa saham sendiri yang akhirnya
juga berubah dari lembaga perdagangan, lalu menjadi ajang perjudian. Lalu apa
jadinya ketika pasar sudah berubah menjadi arena judi?
Menjadi mudah membayangkan sekarang
kenapa ketika Wall Street guncang, Indonesia nyaris tidak terkena imbasnya.
Karena di negeri ini, mungkin justru karena ketertinggalannya, masih
menggunakan uang benar-benar sebagai alat bayar. Aneka bank besar saja masih
tidak cukup, tetapi juga masih butuh BPR, bank titil, bank tongol, bank plecit,
koperasi, kredit candak kulak dan semacamnya. Peredaran uang mereka riil sekali
dan berputar untuk sektor yang benar-benar riil. Mereka membeli barang, mereka
bukan membeli angka dan data-data. Dan itu menghidupkan mata rantai hidup.
Bahkan koruptor pun tidak lagi berani menyuap dengan transfers, tatpi chash!
Artinya, uang masih dijaga fungsinya sebagai benar-benar alat pembayaran, bukan
pihak yang diperjual belikan.
Setiap kita punya mandat, setiap
profesi dan jabatan punya mandat, jika ia diingkari, ia akan berujung bahaya di
kelak kemudian hari.
* Prie GS.
* Prie GS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar